Sunday, June 3, 2012

Secret Admirer


S
ubhan. Nama itu selalu menggema di telingaku. Setiap kali mengingatnya, hatiku pilu. Ketidaktahuannya akan perasaanku seringkali membuatku menyesal. Menyesal karena aku yang lemah. Menyesal karena aku tidak pernah berani untuk jujur dengan apa yang kurasakan. Menyesal karena aku terlalu mengagumi sosoknya.
Mengapa Tuhan mempertemukan aku dengannya? Mengapa pula Tuhan mengizinkan hatiku terisi oleh bayang-bayang dirinya?
Aku selalu menyalahkan Tuhan mengapa semua ini terjadi kepadaku. Tetapi, setelah kupikir-pikir, terlalu berlebihan jika aku terus saja ‘memojokkan’ Tuhan. Bisa-bisa aku dikutuk olehNya karena hal itu. Na’udzubillaah. Toh, Dia telah menuliskan jalan hidupku jauh-jauh hari sebelum aku terlahir ke dunia. Tak mungkin hanya karena aku protes dengan takdirku ini, kemudian Dia mengubah alur kisah hidupku.
Huft, kuhela napas dalam-dalam. Masih segar benar dalam ingatanku ketika terakhir kali kami bertemu. Kutatap dirinya yang juga sedang menatapku. Tak ada senyum, tak ada kata. Bukan karena aku telah membencinya, justru karena aku begitu mencintainya. Aku tak akan pernah rela jika ia berada terlalu jauh dariku. Bagiku, ia terlalu berharga untuk tidak kucintai. Tetapi, di sisi lain ia juga terlalu sempurna untuk kumiliki.
Terkadang aku bingung dengan perasaanku sendiri. Di kala orang lain merasa bahagia saat jatuh cinta, aku justru sebaliknya. Aku merasa tersiksa dengan perasaanku sendiri. Cinta yang kurasa itu semakin hari semakin mencekik diriku. Sebelumnya, tak pernah aku merasakan jatuh cinta sehebat ini. Cinta yang begitu hebat, sampai-sampai ia membuatku akan mati karenanya. Sungguh jahat cintaku ini!
Sampai suatu hari, aku mendengar berita buruk. Teman-temanku mengatakan bahwa Kak Subhan telah memiliki seorang pacar. Namanya Diva. Setahuku Diva adalah perempuan yang cantik dan baik hatinya. Tetapi, aku tak langsung percaya begitu saja berita itu. Ah, seorang seperti dirinya tak mungkin memiliki pacar. Bukankah ia adalah lelaki yang sangat berpegang teguh pada agama? batinku.
©©©
Pagi ini begitu cerah. Matahari sudah tidak malu lagi untuk memancarkan sinarnya ketika aku berjalan menyusuri gang-gang yang sempit ini. Hari ini aku dan Yasmin berencana untuk pergi jalan-jalan keliling kota. Sudah menjadi kebiasaan kami berdua untuk pergi jalan-jalan keliling kota bila hari libur tiba.
Saat di perjalanan, ia mengajakku bermain ke taman kota yang baru saja dibuka sebulan yang lalu.
“Fir, mampir ke taman yuk?” ajak Yasmin sambil membetulkan tali sepatunya yang lepas.
Aku berpikir sejenak. Aku memang belum sempat berkunjung ke taman kota. Aku selalu saja disibukkan dengan rutininas kuliah. Jadi, tak ada salahnya jika aku menerima tawarannya.
“Ayo!” kataku sambil menarik tangannya.
Sesampainya di taman kota, aku memilih tempat duduk yang teduh di bawah pohon mangga. Sementara itu, Yasmin pergi membeli Pocari Sweat untuk kami berdua di  warung dekat taman kota. Sambil menunggu Yasmin, kupasang earphone di telinga. Kuputar lagu milik Taylor Swift yang berjudul Enchanted.
Mataku sibuk melihat-lihat pemandangan di sekitar taman. Banyak remaja yang sengaja datang ke sini untuk sekedar bermain ataupun olahraga. Ada dua orang di pojok taman yang menarik perhatianku. Yang satu adalah laki-laki memakai kemeja hitam, yang satunya lagi adalah perempuan cantik memakai jilbab putih. Sepertinya aku mengenal mereka.
Deg! Ternyata mereka adalah Kak Subhan dan Diva! Mereka sedang asyik berbincang-bincang dan terlihat sangat akrab. Jangan-jangan apa yang dikatakan oleh teman-temanku itu benar adanya.
Dadaku sesak. Seakan-akan langit jatuh menimpaku. Sakit. Sangat sakit. Dia ternyata memang benar telah memiliki pacar. Ya, Diva itulah pacarnya.
“Fir?” panggil seseorang di sampingku yang ternyata adalah Yasmin. “Kau kenapa?”
“Hah?” kataku bingung.
“Itu. Kenapa kau menangis?” tanyanya sambil menunjuk mataku.
Aku tidak sadar kalau ada air mata yang membanjiri pipiku. Aku pun langsung menghapusnya dengan jilbab kaos yang kupakai.
“Ah, tadi kelilipan. Yas, aku ingin pulang,” ajakku.
“Hey, kita kan baru sampai. Kenapa buru-buru? Apa kau sedang tidak enak badan?” tanyanya khawatir.
“Tidak. Aku hanya ingin pulang saja,” jawabku sambil membuka botol minuman yang baru dibelinya. Aku meminumnya beberapa tegukan.
“Ya sudah kalau itu maumu.”
Di perjalanan pulang, sayup-sayup terdengar sebuah lagu yang terputar di earphone:
Mungkin ini memang jalan takdirku
Mengagumi tanpa dicintai
Tak mengapa bagiku mencintaimu pun adalah bahagia untukku
Bahagia untukku…
©©©
Sejak peristiwa di hari itu, aku telah bertekad untuk menghapus perasaanku padanya. Aku tak ingin melangkah lebih jauh. Aku takut jika aku mempertahankan semua ini, aku akan terjatuh ke lubang yang lebih dalam lagi. Jadi, akan lebih baik jika aku menata ulang hidupku seperti saat aku belum mengenalnya.
Hari demi hari pun berlalu. Dan, hingga saat ini aku belum juga sanggup untuk melupakannya. Parahnya lagi, perasaanku ini justru semakin menyembul ke luar. Semakin keras usahaku untuk melupakannya, semakin melekat rasa ini dalam diriku. Hatiku berontak. Ia seperti tak mau lepas dari bayang-bayang Kak Subhan. Aku jadi teringat lagu yang tak sengaja terputar di earphone-ku saat itu.
Tes. Air mataku jatuh tak terbendung membasahi pipi. Kenapa aku begitu lemah? Setiap kali mengingatnya aku menangis. Mengagumi seseorang dari kejauhan ternyata menyakitkan. Tidak, ini sangat menyakitkan.
Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku pun beranjak mengambil ponselku yang ada di atas meja belajar. Ada satu pesan masuk. Kubaca pesan itu. Deg! Aku kaget dengan pesan yang baru saja masuk ke ponselku itu.
Fir, temui aku di taman kota besok pukul 07.30.
Jangan terlambat!
-Subhan
Seketika itu berbagai macam pertanyaan pun memenuhi otakku. Bagaimana ia tahu nomor ponselku? Ada perlu apa ia ingin bertemu denganku? Bukankah kami tak pernah mengenal satu sama lain? Apa ada seseorang yang memberitahukan perasaanku padanya, kemudian ia marah dan ingin bertemu denganku?
©©©
Esoknya, tepat pukul 07.30 aku tiba di taman kota. Aku duduk di tempat yang dulu pernah aku duduki. Mataku memandang ke seluruh sudut taman kota. Tak kutemukan sosok orang yang akan kutemui itu. Apa pesan itu benar-benar ia yang mengirimnya? Atau, ia mencoba membodohiku melalui pesan itu? batinku. Salahku juga yang langsung percaya dengan pesan itu. Kupasang earphone sembari menunggu kedatangannya.
Mataku memandang lurus ke langit. Kucoba untuk melukiskan wajahnya di atas sana dan berada tepat di samping matahari yang sedang sibuk memancarkan sinarnya. Sinar tersebut mengingatkanku akan cintaku sendiri. Matahari dengan tulus memancarkan sinarnya ke bumi tanpa pernah mengaharap sinar itu kembali kepadanya. Hal itu sungguh berbeda dengan yang aku alami saat ini. Aku selalu berharap Kak Subhan membalas cintaku suatu saat nanti. Aku jadi ragu, apa aku memang tulus mencintainya?
Kuhela napas dalam-dalam. Dari arah barat, datanglah seorang pria tampan. Ia memakai kemeja biru kotak-kotak dan celana panjang hitam yang masih terlihat jelas lipatan-lipatan bekas disetrika. Ia berjalan mendekatiku.
“Kau terlambat 15 menit,” kataku sambil melepas earphone yang kupakai.
“Maaf,” ucapnya tanpa memberitahukan alasan mengapa ia datang terlambat.
Ia duduk berjauhan denganku. Hening. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami. Aku masih sedikit kesal dengan keterlambatannya. Padahal, ia sendiri yang menyuruhku untuk datang tepat waktu, tapi malah ia yang melanggarnya sendiri. Meski begitu, di lubuk hatiku yang paling dalam aku merasa bahagia atas kedatangannya.
“Fir?” panggilnya.
“Ya?” jawabku dengan sedikit mendongakkan kepala dan memandang wajahnya. Bibirku sedikit bergetar ketika menjawab panggilannya.
Lagi-lagi hening. Sesaat kemudian ia melanjutkan perkataannya.
“Apa kau menyukaiku?”
Deg! Pertanyaan itu langsung menembus ke hatiku. Tentu saja aku terkejut mendengarnya. Bagaimana ia bisa tahu kalau aku menyukainya? batinku.
“Apa maksudmu?” tanyaku singkat.
“Apa kau benar-benar tidak mengerti maksudku? Baiklah, akan kuulangi sekali lagi. Jawab dengan jujur karena aku takkan mengulangi pertaanyaanku lagi. Apa kau benar-benar menyukaiku?” tanyanya dengan nada yang lebih ditekankan.
Aku benar-benar tidak mengerti mengapa ia menanyakan itu. Apa ia juga menyukaiku? Ah, lalu Diva itu siapanya? Mengapa hari itu mereka berduaan di tempat ini juga?
“Aku tidak tahu,” jawabku.
Hey, apa yang baru saja kukatakan? Aku tidak tahu? Astaga, betapa bodohnya diriku. Mengapa kata-kata itu yang keluar dari mulutku? Apa aku sudah tidak waras?!
Aku memandangya. Ia hanya terdiam. Terlukis di wajah tampannya suatu kekecewaan. Aku sangat menyesal telah mengatakan “aku tidak tahu”. Ketika kesempatan emas datang kepadaku, aku jusrtu membuangnya dengan sia-sia.  Aku ingin sekali mencabut kata-kataku tadi dan mengatakan bahwa aku menyukainya. Bukan, aku bukan menyukainya, tapi mencintainya. Tetapi, nasi telah menjadi bubur.
Dadaku sesak. Hatiku berontak. Kualihkan pandanganku lurus ke arah gedung-gedung tinggi di depan taman kota. Angin berhembus semilir seakan ingin menenangkan hatiku yang kalut. Mungkin juga hatinya.
Kupasang earphone-ku lagi. Kuputar sembarang lagu. Sayup-sayup terdengar lirik yang mungkin mewakili perasaanku saat ini.
Tertegun ku memandangmu
Saat kau tinggalkanku menangis
Bodohnya ku mengharapmu
Jelas sudah tak kau pedulikan cintaku

mestinya telah kusadari
betapa perih cinta tanpa balasmu
harusnya tak ku paksakan
bila akhirnya kan melukaiku

mungkin ku tak akan bisa
jadikan dirimu
kekasih yang seutuhnya mencinta
namun kurelakan diri
jika hanya setengah hati
kau sejukkan jiwa ini


Ku hanya terus berharap
Satu hari kau mampu sadari
Tiada yang pernah mengerti
Sepertiku setulus hati mencintamu

Kuhela napas dalam-dalam. Biarlah, aku sudah terlanjur mengatakannya. Mungkin memang jalan takdirku untuk mengaguminya hanya dari kejauhan. Mungkin juga sudah takdirku yang hanya bisa menjadi secret admirer-nya.
©©©


No comments:

Post a Comment